Kamis, 24 Februari 2011

ISLAM PASCAKOLONIAL


ISLAM PASCAKOLONIAL;
PERSELINGKUHAN AGAMA, KOLONIALISME DAN LIBERALISME
Oleh: Welhendri

Penulis : Ahmad Baso
Pengantar         : Azyumardi Azra
Halaman           : 419 halaman
Penerbit            : Mizan, Bandung
Cetakan           : I/ Mei 2005
Membaca Islam Indonesia tak bisa lepas dari bicara tentang sejarah Indonesia yang pernah dijajah oleh Belanda. Mengacu pada kenyataan bahwa sejarah umat Islam Indonesia pernah menghadapi masa kelam sejak zaman penjajahan, Ahmad Baso membahas perjumpaan umat Islam dengan tradisi pencerahan dan kemodernan Eropa yang dibawa oleh penjajah. Dimulai sejak zaman renaissance, negara-negara Eropa mulai melakukan kolonialisasi dan invasi ke negara-negar di luar Eropa termasuk Indonesia. Negara-negara Eropa tidak hanya berkepentingan dengan sumber daya alam, penaklukan tanah dan teritori di daerah jajahannya, namun juga menyebarkan dan melakukan penaklukan pikiran dan budaya. Dalam proses inilah mereka menyebarkan faham rasional, modern dan liberal.
Negara-negara Barat, termasuk Belanda, yang menganut ajaran liberal, dalam aktivitasnya berupaya untuk meliberalkan berbagai lini kehidupan termasuk dalam hal beragama. Agama yang dibawa dan diperkenalkan oleh kolonialisme adalah agama yang tunduk pada kekuasaan dan menjadi kepanjangan tangan penguasa serta bisa menjaga kondusifitas pemerintah kolonial.
Dalam sejarah Islam Indonesia kita mengenal tokoh C. Snouck Hurgronje. Dia adalah seorang sarjana Belanda yang penuh kontroversial. Satu sisi Snouck adalah tokoh yang mewakili tradisi pencerahan Eropa, namun di sisi lain, sebagai seorang warga Belanda. Pada zamannya ia merepresentasikan kuasa kolonial yang eksploitatif dan bertangan besi terhadap rakyat Indonesia. Ia banyak berperan dalam grand design kolonialisasi Barat di Indonesia dengan menyebarkan ajaran yang berupaya untuk menyiasati agama agar mudah diatur administrasi serta mudah dikontrol sehingga tidak berkembang pada fanatisme. Dengan upayanya ini dia berhasil mengembangkan Islam sebagai agama yang moderat (liberal), dengan banyak menutup gerakan Islam yang mewakili kaum tradisional melalui kelompok-kelompok tarekat. Tarekat dibuat menakutkan dengan dianggap mistik, takhayul dan bid’ah.
Wacana yang dikembangkan oleh Snouck adalah dengan menghindarkan pemahaman agama sebagai kritik sosial, etika yang dengan cara tersebut membuat umat Islam Indonesia tidak mampu memerankan ajaran Islam secara relevan dengan situasi masyarakat pada saat itu yang sedang di jajah. Snouck juga menghindarkan dari pemahaman Islam yang merespon tentang ketimpangan relasi antara penjajah dan yang di jajah. Maka lahirlah Islam pada zaman kolonial Belanda yaitu Islam sebagai agama kerukunan yang akomodatif dan loyal terhadap penguasa dan birokrasi yang cocok untuk kepentingan penguasa dalam mempertahankan tanah kekuasaan.
Dengan menggunakan studi dan teori-teori poskolonial (postcolonial studies), Ahmad Baso mengeksplorasi lebih jauh bagaimana Islam berkembang dalam pergumulan dengan kolonialisme Belanda di Indonesia. Studi poskolonialisme tidaklah mempersoalkan “apa yang terjadi dalam sejarah kolonialisme”. Yang dikaji adalah “apa yang terjadi sesudah kekuasaan kolonialisme hengkang dari daerah jajahannya, dan apa pula yang terjadi kemudian dalam era prakolonialisme”. Menarik masa lalu bukan demi masa lalu, tapi demi memperjelas pada khalayak apa yang terjadi era sekarang, yaitu pada kepentingannya membongkar kekuatan di balik stigma fanatik (terorisme) dan kepentingan di balik moderatisasi (liberalisasi) agama (Islam ). Melalui teori poskolonial, Baso menemukan bahwa pemahaman keberagamaan umat Islam Indonesia dipengaruhi oleh segenap konstruk dan racikan budaya kebudayaan Barat yang superior. Di balik kedigdayaan ilmu pengetahuan dan supremasi peradaban yang mereka miliki, Barat mempengaruhi pola pikir dan psikologis umat Islam Indonesia dengan berbagai kepentingannya.
Upaya ini penting dilakukan untuk membaca bahwa sejarah Islam Indonesia tak lepas dari bayang-bayang kepentingan negara-negara Barat. Hingga sekarang, hal ini masih membekas bahkan bisa ditemukan dalam berbagai produk hukum yang dihasilkan dengan mengatasnamakan agama. Padahal produk hukum tersebut sarat dengan muatan kepentingan di tengah maraknya liberalisasi agama seperti lahirnya Islam liberal yang merupakan ciri utama bangsa Barat.
Buku ini, menurut Ahmad Baso, adalah rintisan awal menulis (ulang) sejarah masa kini, sejarah yang terbentuk bukan karena konfigurasi kekuatan-kekuatan masa kini, melainkan juga oleh konfigurasi kekuatan-kekuatan yang ada pada masa lalu. Pada bagian awal buku ini Ahmad Baso mengeksplorasi dengan menawan dan tajam genealogi studi dan teori-teori poskolonial (postcolonial studies). Mulai dari rujukan studi poskolonial ke Michael Foucault sampai dengan tradisi Marxian. Tidak lupa pula ia menyertakan pembahasan tokoh-tokoh studi poskolonial seperti Lacan, Fanon, dan Edward W. Said.
Pada bagian ini, Ahmad Baso menyertakan perkenalan terhadap studi-studi kontemporer seperti makna studi sejarah, pengertian kebudayaan dan agama sebagai bagian dari objek kajian studi poskolonial. Begitu juga soal relasi apa yang muncul ketika kolonialisme berakhir dan ditandai dengan era baru, era kemerdekaan, era nation state. Disini ditegaskan bagaimana studi poskolonial membangun dirinya sekaligus menyatakan oposisi terhadap kolonialisme. (hlm. 46-73).
Pada tiga bab selanjutnya, Ahmad Baso lebih jauh mengeksplorasi sejarah perkenalan dan pergumulan Islam dengan kolonialisme. Disini Islam yang dianalisis terfokus pada pengalaman Islam yang di imajinasikan di dunia Arab, sebab disinilah dimulainya perkenalan antara Islam dan modernitas barat. Pembahasan tentang hal ini dikaitkan dengan etnologi, yaitu studi tentang bangsa-bangsa lain, terutama dunia timur dan teknik dan data-data penulisan kebudayaan bangsa lain yang disebut etnografi. Melalui etnologi dan etnografi inilah bangsa Barat meracik kebudayaan sehingga tampil sebagai kontrol dan pengawasan. Dari sinilah gagasan-gagasan liberal lahir dan berkembang dalam dunia Islam terutama di dunia Timur.
Agama kolonial adalah adalah agama yang ditafsirkan oleh kaum intelektual dengan semangat non agama tetapi semangat sebagai agen, khususnya dalam cara berpikir. Semangat agen inilah yang dianalisis oleh Ahmad Baso, sebab dalam perkembangan selanjutnya agama kolonial melahirkan kebijakan yang tidak memihak pada rakyat namun justru menjadi kepanjangan tangan penguasa. Lahirnya berbagai kebijakan dan produk hukum yang mengatasnamakan agama dalam kehidupan bermasyarakat era pascakolonial merupakan hasil nyata dari upaya liberalisasi yang dilakukan kolonial. Seperti lahirnya UU perkawinan 1974 yang awalnya muncul dari rancangan yang dianggap sekuler tetapi kemudian berkembang menjadi sebuah mistifikasi atau sakralisasi sebagai UU yang islami dan menjadi “hukumTuhan”.
Dengan teori poskolonial ini, Timur yang dulu diperlakukan sebagai objek (maf’ul), kini berbalik memperlakukan Barat sebagai objek (maf’ul). Timur menjadi subjek (fa’il) dan Barat menjadi objek. Dalam wacana kolonial, yang menjadi objek adalah penduduk terjajah atau pribumi. Sedangkan dalam wacana poskolonial atau dekolonisasi ini, yang menjadi objek justru Barat atau penjajah itu sendiri. Ini mengukuhkan, bahwa Baso adalah sosok penerus Edward W. Said yang dengan lantang mengkritisi Barat yang selama ini memperlakukan Timur sebagai objek.
Topik lain yang dibahas dalam buku ini diurai dalam bagian akhir yang membahas permasalahan suara-suara kaum pinggiran (subaltern) dan yang dipinggirkan dalam kolonialisme dan pascakolonialisme. Dalam konteks lebih mikro kaum subaltern tersebut diwakili oleh NU. Disini Ahmad Baso mempertegas posisi NU yang kokoh menolak liberalisasi agama. Dengan melihat apa yang terjadi dalam muktamar NU ke-31 di Solo pada 28 Nopember hingga 2 Desember 2004 lalu yang menolak pendekatan hermeneutika dalam sidang komisi pembahasan masalah-masalah keagamaan tematik (masa’il diniyyah maudhu’iyyah).
Di arena muktamar NU itu, hermeneutika dianggap sebagai sesuatu yang muncul tidak netral: ia hadir dalam konteks kecurigaan pada kelompok “Islam Liberal”. NU menolak tradisi ditempatkan sebagai objek (yang dibedah) sementara hermeneutika dijadikan sebagai subjek (yang membedah). Artinya, NU kini berbalik memandang memposisikan hermeneutika sebagai objek. Dengan ditolaknya hermeneutika, dan juga Islam Liberal yang menyertainya, maka segenap pendekatan luar dengan sendirinya kandas, tidak berkutik dan gagal. NU memiliki logika sendiri untuk memandang diri dan tradisinya dan mempunyai kekuatan untuk memandang di luar dirinya: Orang-orang NU bukanlah objek, tapi subjek!
*****
Apa yang dilakukan oleh Ahmad Baso dengan karyanya ini merupakan kontribusi nyata dalam membaca Islam pascakolonial dalam kaca mata sejarah sosial. Sebagai sebuah cara pandang baru dalam memandang sejarah, sejarah sosial lebih menekankan pada kajian atau analisis terhadap faktor-faktor, bahkan ranah-ranah sosial yang mempengaruhi terjadinya peristiwa-peristiwa sejarah itu sendiri.
Walau susah dicerna karena muatannya yang kompleks, tetapi buku ini perlu dibaca. Saat menelusurinya pun kita harus membaca secara komprehensif dan holistik agar pemahaman terhadap apa yang diungkapkan oleh Ahmad Baso bisa dipahami dengan benar. Buku ini masih merupakan grand teori tentang sejarah sosial umat Islam Indonesia. Dengan alasan inilah kita masih perlu penjelasan lebih lanjut tentang apa yang dikemukakan oleh Ahmad Baso .
Bagi kalangan yang mendalami perkembangan wacana keislaman, buku ini hanyalah pengantar untuk memahami lebih lanjut teori-teori sejarah sosial dalam membaca sejarah Islam Indonesia. Selesai membaca buku ini, kita akan dihadapkan berbagai pertanyaan yang belum terjawab oleh Ahmad Baso.

MUHAMMAD BAQIR AL – SHADR : PEMIKIRANNYA TENTANG KAUSALITAS


MUHAMMAD BAQIR AL – SHADR :
PEMIKIRANNYA TENTANG KAUSALITAS
Oleh: Syilvia Yani

A.    Pendahuluan
Adalah fakta yang nyata bahwa filsafat Islam merupakan hasil kreasi atau ijtihad kaum Muslimin. Bermacam tradisi dan kebudayaan bangsa memiliki kontribusi atas pengembangan dan pengkayaan filsafat Islam. Peradaban Islam pada masa puncaknya bukan hanya tidak memblokir arus ilmu pengetahuan, tapi juga mengamini dan mendukungnya. Dan jauh dari menentang filsafat, ia disambut dan dipeluk dengan rentangan tangan terbuka. Islam menyambut berbagai macam opini dan pandangan dari setiap sudut dan warna. Islam mengajak manusia untuk mengobservasi dan merenungi misteri, menantang diskusi dan penelitian serta membuka kebebasan berpikir.
Salah satu issu besar dalam tradisi filsafat Islam yang hangat diperdebatkan filosof Muslim adalah seputar kausalitas. Kausalitas merupakan salah satu persoalan fundamental dalam filsafat. Pada abad pertengahan, para filosof Muslim disibukkan perdebatan yang produktif tentang kausalitas yang dipandang semata-mata dari perspektif filsafat dan teologi Islam. Puncak perdebatan yang produktif tersebut ditandai saling silang pendapat dan tuduh menuduh antar filosof, seperti Al-Ghazali dengan kitabnya al tahāfut al falāsifah yang segera dibantah oleh Ibnu Rusyd dengan kitabnya tahāfut al tahāfut. Al-Ghazali mendebat (menyanggah) pandangan para filosof (Al-Farabi dan Ibnu Sina) yang berpendapat bahwa ada hukum kepastian (dharūry) antara sebab dan akibat dalam peristiwa-peristiwa alami. Al-Ghazali berargumen bahwa hubungan sebab dan akibat tidak bersifat kepastian karena Allah Swt. adalah Pencipta segala yang ada termasuk peristiwa yang berada diluaur kebiasaan. Sebab itu, Allah Swt. adalah sebab lain dibalik peristiwa-peristiwa alami yang merupakan rahasia tersembunyi, yang justru merupakan sebab hakiki.[1]
Al-Ghazali kemudian mengaitkan persoalan kausalitas yang dipegangi filosof dengan mu’jizat para nabi. Menurutnya padangan filosof itu dapat mempengaruhi keimanan seseorang terhadap mu’jizat para nabi, mu’jizat yang diartikannya sebagai hal yang menyimpang dari kebiasaan alam akan dilemahkan oleh pandangan kausalitas yang menyatakan bahwa setiap peristiwa alami mesti mempunyai sebab yang pasti dalam alam itu sendiri. Karena itu, Al-Ghazali menolak pandangan bahwa hubungan-hubungan kausalitas sebagai hubungan-hubungan di antara objek-objek alamiah itu sendiri, dan objek-objek itu berada di luar dan tidak tergantung dari kehendak Allah Swt. Allah Swt. adalah Pencipta segala yang wujud termasuk peristiwa yang berada di luar kebiasaan. Dengan gagasannya ini, Al-Ghazali menegaskan keyakinan teologis Islam dengan mengatasi perdebatan tentang kausalitas yang alamiah dengan mengedepankan kemahakuasaan Allah Swt.
Menurut Ibnu Rusyd bahwa sanggahan Al-Ghazali yang menyatakan tidak adanya hubungan kemestian antara sebab dan akibat merupakan suatu pernyataan yang berlawanan dengan hati nurani mereka.[2] Namun begitu, Ibnu Rusyd mengakui bahwa persoalan ini sangat pelik dan untuk memecahkannya membutuhkan renungan mendalam. Menjawab kekhawatiran Al-Ghazali di atas, Ibnu Rusyd secara sederhana menjalaskan bahwa pendirian para filosof tentang kausalitas tidak akan merusak keimanan seseorang terhadap mu’jizat para nabi. Ia kemudian merumuskan dua macam mu’jizat, yakni mu’jizat al barrāniy dan mu’jizat al jawwāniy.[3]  
Pada zaman modern sampai saat ini, pandangan, pemikiran dan pengetahuan manusia tentang kausalitas menjadi salah satu faktor dasar penentu perkembangan kemajuan sains dan teknologi. Ditangan sains dan teknologi, perdebatan tentang kausalitas menjadi bersifat materialistik dan dialektik. Kausalitas menjadi sebatas objektivitas persepsi inderawi yang bersifat mekanik dan statis. Karena itu, kausalitas kehilangan aspek spiritual atau ke-Tuhan-annya. Faktor perkembangan ini menyebabkan pendangkalan dan penyelewengan dalam kesadaran bahwa kausalitas adalah bagian dari hukum-hukum kekuasaan Tuhan menjadi lingkaran sempit sekularitas dunia inderawi manusia modern. Penyelewengan ini pulalah yang menyebabkan terperangkapnya manusia modern dalam berbagai penderitaan psikis dan spiritual yang berujung pada kerusakan lingkungan dan alam.
Segera muncul pemikir-pemikir, khususnya di kalangan Islam, yang mengkritik secara tajam pandangan materialistik dan dialektik dalam sains modern tersebut terhadap prinsip kausalitas. Dalam bahasan inilah dijumpai urgensi pemikiran seorang Muhammad Baqir Ash – Shadr, tokoh yang menjadi fokus penelitian makalah ini. Secara khusus dalam pemikiran dan karya-karyanya, ia mengarahkan kiritk terhadap kepicikan pandangan sains modern tersebut, tetapi secara strategis memberi warna dan pembaharuan tertentu paham keagamaan Islam kontemporer dengan penekanan pada pentingnya logika, perlunya kausalitas dan peran pemikiran filosofis dan teologis dalam menundukkan kekacauan sekularisme dan agnotisisme.

B.     Riwayat Hidup Muhammad Baqi Ash-Shadar
Muhammad Baqir Ash-Shadr adalah sedikit dari tokoh-tokoh Islam yang mampu berbicara dengan fasihnya pemikiran-pemikiran Barat. Kesan apalogi yang selama ini melekat pada pemikir Islam, ia tepis dengan kejernihan dan kecerdasan pemikirannya. Ia begitu akrab dengan karya-karya pemikir Islam klasik maupun modern, tapi ia juga paham pemikiran-pemikiran Barat yang berkembang. Dalam karyanya yang terkenal yaitu Falsatuna dan Iqtishaduna ia dengan fasihnya mengutarakan kritik-kritik terhadap pemikiran Barat seperti Karl Marx, Descartes, John Locke dan lain-lain.[4]
Falsafatuna dan Iqtishaduna telah mencuatkan Mehammad Baqir Shadr sebagai teoritisi kebangkitan Islam terkemuka. Sistem filsafat dan ekonomi alternatif ini disempurnakan melalui masyarakat dan lembaga. Dalam Falsafatuna dan Iqtishaduna, Baqir Shadr ingin menyajikan kritik yang serius terhadap aliran marxisme dan kapitalisme. Buku ini baik dari segi sturuktur maupun metodologi, tak diragukan lagi inilah sumbangsih paling serius dan paling banyak disaluti di bidang ini.[5]
Muhammad Baqir As-Sayyid Haidar Ibn Ismail Ash-Shadr, seorang sarjana, ulama, guru dan tokoh politik, lahir di Kazimain, Baghdad, Irak pada 25 DzulQaâdah 1350H/1 Maret 1931 M dari keluarga religius. Pada usia empat tahun, Muhammad Baqir Ash-Shadr kehilangan ayahnya, dan kemudian diasuh oleh ibunya yang religius dan kakak laki-lakinya, Isma’il, yang juga seorang mujtahid kenamaan di Irak. Muhammad Baqir Ash-Shadr menunjukkan tanda-tanda kejeniusan sejak usia kanak-kanak. Pada usia sepuluh tahun, dia berceramah tentang sejarah Islam, dan juga tentang beberapa aspek lain tentang kultur Islam. Dia mampu menangkap isu-isu teologis yang sulit dan bahkan tanpa bantuan seorang guru pun. Ketika usia sebelas tahun, dia mengambil studi logika, dan menulis sebuah buku yang mengkritik para filosof.[6]
Pada usia tiga belas tahun, kakaknya mengajarkan kepadanya Ushul ilm al-fiqh ( asas-asas ilmu tentang prinsip-prinsip hukum Islam yang terdiri atas Al-Qurâ’an, Hadis, Ijmaâ dan Qiyas ). Pada usia sekitar enam belas tahun, dia pergi ke Najaf untuk menuntut pendidikan yang lebih baik dalam berbagai cabang ilmu-ilmu Islami. Sekitar empat tahun kemudian, dia menulis sebuah ensiklopedi tentang Ushul, Ghayat Al-Fikr fi Al-Ushūl ( pemikiran puncak dalam Ushul ). Muhammad Baqir Ash-Shadr menjadi seorang mujtahid pada usia tiga puluh tahun.
Sebagai salah seorang pemikir yang paling terkemuka, Muhammad Baqir Ash-Shadr melambangkan kebangkitan intelektual yang berlangsung di Najaf antara 1950-1980. Ciri lain yang mencolok dari kebangkitan itu adalah dimensi politiknya, dan saling pengaruh antara apa yang terjadi di lorong gelap dan sekolah tinggi berdebu Najaf, dan Timur-Tengah pada umumnya. Peristiwa pengeksekusian Shadr bersama saudara perempuannya yang bernama Bint Al-Huda pada 8 April 1980, barangkali ini merupakan titik puncak tantangan terhadap Islam di Irak. Dengan meninggalnya Shadr, Irak kehilangan aktivis Islamnya yang paling penting.[7]
Tapi ketenaran Shadr justru setelah ia dihukum gantung oleh pemerintahan Irak. Reputasi Shadr semenjak itu diakui di berbagai kalangan masyarakat. Namanya telah melintasi Mediterania, ke Eropa dan Amerika Serikat. Pada 1981, Hanna Batatu, dalam sebuah artikel di Middle East Journal di Washington, menunjukkan pada orang-orang pentingnya Shadr bagi gerakan bawah tanah Syi’ah di Irak. Pada 1984, Istishaduna diterjemahkan sebagian ke dalam bahasa Jerman, disertai mukadimah panjang mengenal alim Syi’ah ini oleh seorang orientalis muda Jerman. Jadi tidak mungkin lagi mengabaikan nilai penting Muhammad Baqir Ash-Shadr dalam kebangkitan berbagai gerakan politk Islam, di Irak, di dunia Syiâah dan di dunia Muslim pada umumnya.
     
C.    Pengertian Kausalitas
Secara etimologi kata kausalitas dalam bahasa inggris: causality, berarti “hubungan sebab dan akibat”.[8] Dalam bahasa Arab disebut “as-sabab” yang mengandung makna sebagai segala sesuatu yang dapat mengantarkan pada sesuatu yang lain.[9] Orang-orang Arab Aqhah (yang masih murni  bahasanya) menggunakan istilah as-sabab dengan pengertian tersebut. Dalam bait syairnya, Juhair bertutur demikian:
“Siapa yang takut pada sebab kematian, ia akan menemuinya juga. Meski dia menemukan jalan ke langit melalui tangga”.
Pengertian di atas sama dengan apa yang tercantum di dalam al-Quran, yakni segala sesuatu yang dapat mengantarkan pada sesuatu yang lain. Allah SWT berfirman artinya:
 “Atau apakah bagi mereka kerajaan langit dan bumi dan yang ada di antara keduanya? (Jika ada), hendaklah mereka menaiki tangga-tangga (ke langit”). (QS. Shad [38]: 10)

Allah SWT juga berfirman di dalam al-Quran artinya:
“Fir’aun berkata, “Hammân, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, sehingga aku dapat melihat Tuhan Mûsâ. Sesungguhnya aku menganggap dia sebagai seorang pendusta.” Demikian, di hadapan Fir’aun, keburukan perbuatannya dipandang baik, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar). Tipudaya Fir’aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian”. (QS al-Mu’min [40]: 36-37)
Dengan demikian, hal-hal yang menjadi perantara untuk sampai pada sesuatu disebut sebab, seperti zina, misalnya, (menjadi sebab murka Allah, karena zina bisa mengantarkan terhadap murka Allah), dan contoh lainnya. Begtu juga dalam istilah ahli ushul fikih, kata sabab (sebab) mempunyai arti yang sama. Mereka telah mendefinisikan sebab sebagai sifat nyata yang ditunjukkan oleh dalil sam’î (naqlî) bahwa sifat tersebut merupakan pemberitahuan adanya hukum, bukan pemberitahuan disyariatkannya hukum.[10]
Juga dikatakan bahwa sebab adalah sesuatu yang pasti mendatangkan akibat. Tidak adanya sebab, pasti tidak akan mendatangkan akibat. Keberadaan akad syar’î, misalnya, menjadi sebab kebolehan untuk mengambil manfaat atau sebab adanya peralihan kepemilikan; nishâb menjadi sebab bagi kewajiban membayar zakat; dan sebagainya. Jadi, sebab adalah segala sesuatu yang mengantarkan pada sesuatu yang lain. Makna tersebut telah digunakan oleh orang-orang Arab, al-Quran, para ulama, dan para fuqahâ.
Dengan demikian, perantara yang dapat mengantarkan sesuatu pada sesuatu yang lain disebut sebab, sedangkan sesuatu yang lain tersebut disebut akibat. Kaidah Kausalitas adalah upaya untuk mengaitkan sebab dengan akibatnya. Kausalitas merupakan landasan dalam menjalankan berbagai aktivitas (qâ’idah ‘amaliyyah) dan meraih berbagai tujuan. Dengan memenuhi tuntutan kaidah ini, suatu aktivitas dapat terlaksana, bagaimanapun keadaannya; baik mudah ataupun sulit. Dengan memenuhi tuntutan kaidah ini pula, tujuan suatu aktivitas akan dapat diraih, bagaimanapun keadannya; baik dekat ataupun jauh.
Seiring dengan itu, dalam Kamus Filsafat karangan Lorens Bagus dijelaskan hukum kausalitas ialah sesuatu yang menunjukkan kaitan genetik niscaya antara gejala-gejala. Satu gejala tersebut disebut sebab yang menentukan yang lainnya yang disebut akibat atau konsekwensi[11]. Dalam bahasa sederhana hukum kausalitas dapat kita artikan sebagai sebuah hukum sebab-akibat.
Dalam periode perkembangan sejarah pemikiran Islam, pembicaraan hukum kausalitas ini sangat terkait erat dengan teori yang membicarakan masalah proses penciptaan alam, fenomena-fenomena yang berhubungan manusia dan alam serta berlanjut dengan lahirnya teori sains dan ilmu pengetahuan dalam islam.
D.    Sekilas Perdebatan Kausalitas dalam tradisi Pemikiran Islam
Seperti disinggung di pendahuluan, diantara tokoh yang sangat populer dalam membicarakan masalah kausalitas ini dalam sejarah pemikiran Islam pada zaman kalsik adalah Al-Ghazali melalui karyanya Tahafut Al-Falasifah. Al-Ghazali mempermasalahkan apakah hukum kausalitas ini adalah sebuah hal yang pasti dan sebuah keniscayaan? Hal ini dilandasinya pada konsep bahwa Allah adalah pencipta segala yang ada, termasuk peristiwa yang berada diluar kebiasaan yang disebut mu’jizat. Menurut al-Ghazali hubungan antara sebab dan akibat tidaklah bersifat dharury atau kemestian.
Dalam pengertian keduanya tidak merupakan hubungan yang mesti berlaku, tetapi keduanya masing-masing mempuanyai individualitasnya sendiri. Sebagai contoh kertas tidak mesti terbakar oleh api dan basah oleh air, semua ini hanya adat kebiasaan alam bukan suatu kemestian. Karena terjadinya sesuatu dialam ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata.[12] Dapat diperkirakan pemikiran al-Ghazali tidak bisa kita lepaskan dari paham teologi Asy’ari yang tekenal dengan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Dan dapat juga kita pahami bahwa al-Ghazali ingin mempertahankan akidah umat islam agar tidak terjebak pada paham kausalitas yang menurut filosof tedahulu terkesan menafikan adanya penyebab utama dari hukum sebab akibat ini yaitu Allah.
Terkait dengan teori al-Ghazali ini pada sejarah pemikiran Islam  terdapat bantahan oleh Ibn Rusyd dalam karyanya Tahafut al Tahafut yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang pasti antara sebab dan akibat. Pendapat Al-Ghazali yang menyatakan tidak adanya sebuah kemestian atau pengingkaran akan adanya sebab yang melahirkan akan adanya musabab atau akibat merupakan pernyataan yang tida logis.[13] Selanjutnya Ibn Rusyd menyatakan bahwa pada suatu benda yang terdapat dalam alam ini mempunyai sifat dan zat tertentu yang di sebut dengan sifat zatiah. Bahwa untuk terwujudnya segala sesuatu kemestian mesti ada daya atau kekuatan yang ada sebelumnya. Seperti api mempunyai sifat zatiah membakar sedangkn air mempunyai zatiah membasahi. Sifat zatiyah inilah yang membedakan antara api dan air.[14]


E.      Pemikiran Filsafat Muhammad Baqi Ash-Shadar tentang kausalitas
Dilihat dari substansinya, perdebatan prinsip kausalitas dalam pemikiran filsafat Islam bertujuan untuk membuktikan adanya Allah swt. sebagai penyebab utama yang tidak bersebab. Tujuan-tujuan inilah yang menyebabkan diskursus kausalitas dalam filsafat Islam menjadi teori-teori yang spekulatif. Sifat spekulatif demikian menjadi sumber utama kritik kaum materialisme. Tidak dapat disangkal bahwa kausalitas materialisme telah memberikan sumbangsih pada perkembangan ilmu pengetahuan modern yang bersumber pada eksplorasi alam materi. Meskipun demikian, seperti akan dilihat dalam uraian berikut, menurut Shadr pendekatan logika dan filsafat spekulatif sangat diperlukan dalam memahami prinsip kausalitas agar manusia tidak terjerumus pada paham materialisme yang membawa kepada paham ateisme, karena menafikan adanya penyebab utama yaitu Allah swt. yang menyebabkan terjadinya sebab akibat.
Dalam karayanya falsafatuna Muhammad Baqir Ash Shadar mengkritisi apa yang telah diungkapkan oleh kaum empiris dan materialis tentang konsep kausalitas, yang menyatakakan bahwa prinsip-prinsip kausalitas dalam kehidupan manusia di dunia ini, telah terbentuk dalam sebuah proposisi primer yaitu dalam bentuk mempertanyakan segala sesuatu yang terkait dengan fenomena alam di sekitarnya. Sebagai contoh manusia selalu mempertanyakan mengapa sebuah peristiwa itu terjadi? Serta sebab-sebab terjadinya peristiwa tersebut? terutama terhadap hal-hal yang bisa ditangkap oleh panca indra manusia. Dan menafikan adanya sebab yang lain di luar sebab itu apabila ia tidak menemukan apa yang menjadi sebab terhadap wujud tersebut,  dan tidak yakin akan adanya sebab yang tidak diketahui yang melahirkan peristiwa tersebut.
Terkait dengan prinsip-prinsip kausalitas yang diungkapkan oleh kaum empiris dan matrealis Ash Sadr mengawali kritikannya dengan memakai beberapa argumen yang dipakai mereka yaitu: pertama, mengenai  pembuktian realitas objektif persepsi indrawi, kedua, semua teori dan hukum ilmiah yang berdasarkan pada eksperimen, ketiga, kemungkinan penyimpulan-penyimpulannya dalam bidang filsafat maupun ilmu.
1.      Kausalitas dan objektivitas pembuktian persepsi indrawi
Menurut Ash Shadr pertama, persepsi indrawi tidak mengungkapkan adanya realitas objektif. Karena ia adalah konsepsi dan bukan tugas konsepsi untuk memberikan jawaban yang benar, kedua, mengetahui adanya realita alam secara global adalah suatu ketetapan yang niscaya lagi primer yang tidak membutuhkan bukti yakni tidak perlu tahu terlebih dahulu. Dan inilah yang memisahkan antara idealisme dan realisme. Mengetahui suatu realitas objektif persepsi indrawi ini dan itu dapat terjadi dengan berdasarkan prinsip kausalitas.
Sebagai contoh: ketika manusia dalam keadaan sakit, ia dapat mengindrai hal-hal tertentu, atau membayangkan hal-hal tertentu, atau membayangkan bahwa ia melihat hal itu tanpa mengetahui realitas objektif yang melahirkan persepsi indrawi itu.
2.      Kausalitas dan teori-teori ilmiah
Teori-teori ilmiah, dalam berbagai lapangan eksperimen dan observasinal, menurut Ash Shadr secara umum pada dasarnya bergantung pada prinsip-prinsip dasar hukum kausalitas. Ada beberapa bentuk hukum kausalitas diantaranya:
1.      Prinsip kausalitas yang menyatakan bahwa setiap peristiwa mempunyai sebab.
2.      Hukum keniscayaan yang menyatakan bahwa setiap sebab niscaya melahirkan akibat alamiahnya dan bahwa tidak mungkin akibat terpisah dari sebabnya.
3.      hukum keselarasan antara sebab dan akibat yang menyatakan bahwa setiap himpunan alam yang secara esensial mesti selaras, mesti pula selaras dengan sebab dan akibatnya.
Dalam ketiga komponen teori ilmiah dan kausalitas ini menurut Sadr tidak bisa dipisahkan karena sangat erat kaitannya satu sama lain. dalam mengungkapkan teori ilmiah yang berhubungan dengan eksperimen ilmu pengetahuan alam, karena para ilmuan menafikan adanya sebuah kebetulan dan hanya mempercayai hukum sebab akibat yang sangat mendukung argumentasi mereka secara general. Oleh karena itu ilmu pengetahuan secara umum menganggap prinsip kausalitas dan kedua hukumnya berkaitan erat yaitu berupa hukum keniscayaan dan hukum keselarasan. Dan dapat diterima sebagai kebenaran-kebenaran yang secara mendasar dan menerimanya sebelum teori dan hukum eksperimental terhadap ilmu-ilmu pengetahuan.[15]
sebagai contoh sadr mengambil teori eksperimen seorang ilmuan terhadap roda-roda mobil kayu dimana di antara roda-roda itu kerangka-kerangka besi yang lebih kecil dibandingkan bila dalam keadaan panas. Dan bila didinginkan kerangka-kerangka besi itu akan mengerut dan akan mengetup diroda-roda kayu. sadr menganggap bahwa  para ilmuan ini telah berkali-kali menguji eksperimenya yang pada akhir eksperimennya tidak akan bisa lepas dari pertanyaan selama anda tidak mencakup segala benda tertentu, maka bagaimana bisa anda mempercayai bahwa kerangka-kerangka besi lain yang tidak anda uji itu juga bisa memuai karena panas? Jawaban satu-satunya atas pertanyaan tersebut adalah prinsip dan hukum-hukum kausalitas, akal yang tidak mau menerima keserampangan dan kebetulan.
Tetapi menerangkan alam semesta berdasarkan kausalitas dan hukum-hukumnya. Termasuk hukum keselarasan dan keniscayaan, mendapati dan eksperimen-eksperimen yang terbatas, dari contoh ini telah jelas alasan untuk menerima teori umum yang menyataka: benda-benda di alam bisa memuai karena panas, artinya ilmuan hanya mengambil kesimpulan secara umum dari beberapa benda yang bisa memuai karena panas seperti besi dan benda jenis logam lainnya, karena ada zat yang menyelaraskan antara zat panas dan besi. Dengan catatan tidak semua benda bisa memuai karena panas seperti kayu.
3.      Kausalitas dan inferensia
Ketika kita ingin memberikan sebuah pembuktian terhadap suatu eksperimen, menurut Shadr baik dengan cara filsafat maupun melalui teori empiris pada dasarnya kita hanya berusaha agar bukti tersebut menjadi sebab diketahuinya suatu kebenaran itu. kalau tidak dengan prinsip kausalitas itu, tentulah kita tidak mendapatkan hal ini. jadi setiap pemaparan sangat bergantung pada diterimanya prinsip kausalitas. Bahkan penolakan terhadap prinsip kausalitas yang telah di utarakan oleh para filosof dan ilmuan juga berdasarkan prinsip kausalitas.
Dari uraian diatas sadr menyimpulkan:
1.      menurutnya prinsip kausalitas tidak mungkin dibuktikan dan dipaparkan secara empirik. Karena indra tidak mendapatkan sifat objektif.
2.      prinsip kausalitas bukanlah teori ilmiah eksperimental, tetapi ia adalah hukum filsafat rasional di atas eksperimen. Karena semua teori ilmiah tergantung pada prinsip kausalitas.
3.      prinsip kausalitas tidak mungkin ditolak dengan hujah apapun karena setiap usaha seperti ini justru menyebabkan pengakuan tehadap prinsip kausalitas ini.
Selanjutnya hal yang sangat penting dalam karyanya falsafatuna Shadr memaparkan empat teori penting yang berhubungan dengan prinsip kausalitas untuk menepis pemahaman kaum empiris dan matrealis yang menafikan adanya sebab utama dari sebab-sebab yang ada didunia ini yaitu Allah. Teori ini diawali shadr dengan mempertanyakan: Mengapa segala sesuatu butuh sebab-sebab?[16]
Teori pertama: Teori Wujud (eksistensi)
Teori ini menyatakan bahwa agar wujud itu maujud ia membutuhkan sebab. Kebutuhan itu adalah esensial bagi wujud. Karena itu tidaklah mungkin kita mengkonsepsikan wujud yang bebas dari kebutuhan tersebut, karena kebutuhan tersebut adalah misteri yang tersembunyi didalam kemaujudan terdalam wujud. Akibatnya adalah bahwa setiap wujud adalah bersebab. 
 Teori kedua: Teori  penciptaan
Yaitu teori yang menganggap bahwa butuhnya segala sesuatu akan sebabnya itu bersandarkan pada penciptaan hal-hal itu. ledakan, gerakan dan panas misalnya menuntut adanya sebab semua itu adalah hal-hal yang terjadi (ada) sesudah tidak ada. Jadi pemaujudannya yang membutuhkan sebab dan yang merupakan pendorong utama yang membuat kita melontarkan pertanyaan: “mengapa ia ada”? berkenaan dengan setiap realitas yang ada bersama kita di dalam alam semesta ini. berdasarkan teori tersebut prinsip kausalitas menjadi terbatas pada peristiwa-peristiwa tertentu, jika sesuatu itu maujud secara terus menerus dan permanen dan tidak mengada sesudah tidak ada, maka padanya tidak akan terdapat kebutuhan akan sebab dan tidak akan masuk kedalam alam khas kausalitas.
Teori ini berlebihan dalam membatasi kaualitas dan ia tidak memiliki pembenaran dari segala filsafat. Karena pengadaan hangat itu membutuhkan sebab, maka memperpanjang hangat itu (terus-menerus) tidak cukup untuk membebaskannya dari kebutuhan ini. karena pemanjangannya akan menjadikan kita mempertanyakan lagi sebabnya, sejauh manapun proses perpanjangan itu.
Teori ketiga: Teori Kemungkinan Esensial dan Kemungkinan Eksistensial
Dua teori ini menyatakan bahwa yang membuat sesuatu membutuhkan sebab adalah kemungkinan. Namun masing-masing teori itu memiliki pahamnya sendiri-sendiri tentang kemungkinan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan antara keduanya itu adalah manifestasi perbedaan filisofis yang sangat dalam sekitar esensi dan wujud. Dalam teori ketiga ini Sadr mengutip pendapat filosof Islam Sadruddin Asy-Syirazi yang menyatakan, tidak ada keraguan bahwa kausalitas adalah hubungan antara dua wujud yaitu sebab dan akibat. Dia adalah semacam hubungan antara dua hal. Hubungan itu memiliki beberapa macam dan corak. Hal ini dicontohkan: pelukis berhubungan dengan kanvas yang ia melukis diatasnya. Penulis berhubungan dengan pena yang ia menulis dengannya. Pembaca berhubungan dengan buku yang dibacanya.
Teori keempat: Fluktuasi Antara Prinsip Kontradiksi dan Kausalitas
Dengan teori ini Shadr bermaksud menjelasnya bahwa setiap fenomena di alam semesta bisa dijelaskan tanpa melibatkan sebab-sebab yang lebih tinggi, misalnya intervensi Tuhan.[17] Kehidupan dan sejarah, seperti dikatakan Shadr tidak bisa dilepaskan sepenuhnya dari ketidak pastian antara kontradiksi-kontradiksi dialektika. Sebagai dialektika ia menekankan bahwa pertumbuhan dan perkembangan timbul dari kontradiksi-kontradiksi dalam (internal). Sebagai contoh, adanya kontradiksi-kontradiksi internal di dalam maujud terdalam fenomena sosial adalah cukup untuk perkembangan fenomena itu dalam gerak yang dinamik.
F.      Kesimpulan
Beberapa aspek dari pemikiran Shadr tentang kausalitas yang menarik disimak antara lain kontribusinya dalam memberi warna pada pembaharuan pemikiran Islam kontemporer. Tidak mengikuti para filosof Islam klasik, penjelasan Shadr tentang kausalitas tidak hanyut dalam ranah teologik dan metafisik, tetapi lebih dekat pada realitas sosial dan perkembangan ilmu pengetahuan modern. Ia mengkritik pendirian empirisme dan materialisme dalam prinsip kausalitas dengan mengatakan bahwa inderawi saja tidak cukup untuk mengungkapkan adanya realitas objektif.
Dalam hal pembaharuan pemikiran Islam, Shadr mengemukakan kritiknya dengan mangatakan, yang salah satunya, bahwa dalam fenomena-fenomena di alam semesta intervensi Tuhan tidak berlaku secara mutlak. Hal itu karena secara kausalitas dapat dijelaskan perkembangan dan pertumbuhan timbul dari adanya kontradiksi-kontradiksi dialektis dalam proses alamiah. Semua itu, dimaksudkan bukan hanya dalam rangka merespon perkembangan pemikiran manusia dalam sains tetapi berperan memberikan kiritik-kritik terhadap jalannya sains yang cenderung lari dari kenyataan metafisik.


[1] Al-Ghazali, Tahafut Al Falasifah Kerancuan Para Filosuf, diterjemahkan dari judul asli Tahafut al-Falasifah oleh Ahmadie Thaha, (Jakarta: Panjimas, 1986), h. 199; lihat juga Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan filsafatnya, (Jakarta: PT: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 174
[2] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Ibid, h. 232
[3] Mu’jizat al barraniy adalah mu’jizat yang diberikan kepada seorang nabi, tetapi tidak sesuai dengan risalah kenabiannya. Mu’jizat jenis ini boleh jadi pada suatu waktu akan dapat diungkapkan oleh ilmu pengetahuan. Ketika ilmu pengetahuan dapat mengungkapnya, ia tidak lagi dipandang sebagai mu’jizat. Mu’jizat al jawwaniy adalah mu’jizat yang diberikan kepada seorang nabi yang sesuai dengan risalah kenabiannya. Mu’jizat jenis inilah mu’jizat yang sesungguhnya, karena tidak akan dapat diungkapkan oleh ilmu pengetahuan manapun dan kapanpun. Ibid, h. 237
[4] Chibli Mallat, Menyegarkan Islam: Kajian Konprehensif Pertama Atas Hidup Dan Karya Muhammad Baqir Ash Shadr, terj, dari judul asli: The Renewal Of Islamic law, (Bandung: Mizan, 2001),h.26
[5] Ibid, 27
[6] Muhammad Baqir Ash Shadr, Falsafatuna: Pandangan Muhammad Baqir Ash Shadr Terhadap Berbagai Aliran Filsafat Dunia, terj, (Bandung: Mizan, 1993), h. 11
[7] Ibid, h.12
[8] John M. Echols & Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2003), h. 103
[9]  Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), h. 161
[10]  Samir ‘Azzam, Kaidah Kausalitas dan Peranannya dalam Kehidupan Muslim, artikel internet
[11] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Agama:1996), h. 399
[12] Sirajuddin Zar,op.cit., h. 175
[13] Ibid,h. 232
[14] Ibid, h. 233
[15] Muhammad Baqir Ash Sadr, Falsafatuna, op.cit.,h.211
[16] Ibid, h. 216
[17]  Ibid, h. 221

Selasa, 22 Februari 2011

Mengenang Cak Nur


Sekitar medio Maret 2008 lalu, bertempat di kampus Universitas Paramadina, Jakarta, diadakan peringatan 1.000 hari wafatnya salah seorang cendekiawan Muslim Indonesia yang akrab disapa Cak Nur (Nurcholish Madjid). Hadir dalam acara peringatan 1.000 hari itu, antara lain, Rektor Universitas Paramadina, Anies R. Baswedan dan istri almarhum Cak Nur, Omi Komaria Madjid.


Kautzar Azhari Noer, salah seorang sahabat dekat Cak Nur, mengenang almarhum sebagai sosok yang memiliki kewibawaan, pemahaman agama dan filsafat sangat luas, bahkan kehadirannya bisa diterima banyak orang. ”Ia sangat menjunjung tinggi rasa toleransi antarumat beragama. Itulah yang membuat Cak Nur bisa diterima siapa pun,” ujar Kautzar (Media Indonesia, 18 Maret 2008).

Dalam bulan April ini, Penerbit Mizan akan menerbitkan-kembali pikiran-pikiran cemerlang Cak Nur yang terhimpun dalam buku Islam, Kemoderan, dan Keindonesiaan. Melanjutkan para perambah modernisme (klasik) di masa-masa lampau, Cak Nur berpendapat bahwa Islam harus dilibatkan dalam pergulatan-pergulatan modernistik. Namun, berbeda dengan para pendahulunya, kesemuanya itu tetap harus didasarkan atas kekayaan khazanah pemikiran keislaman tradisional yang telah mapan. Dalam hal lain, sebagai pendukung neomodernisme, ia cenderung meletakkan dasar-dasar keislaman dalam konteks nasional---dalam hal ini keindonesiaan.

Nah, terkait dengan semua itu, di majalah Gatra edisi minggu lalu, sorang cendekiawan-muda yang pernah meneliti pemikiran Cak Nur, yang saat ini menjadi CEO Penerbit Hikmah (Kelompok Mizan), M. Deden Ridwan, menulis sebuah artikel menarik tentang Cak Nur. Artikel Kang Deden tersebut dapat Anda nikmati juga di bawah ini.

CAK NUR BUKAN JARINGAN ISLAM LIBERAL
Oleh M. Deden Ridwan

Sabtu 15 Maret 2008, Paramadina memperingati "1.000 Hari Wafatnya Nurcholish Madjid". Meski sudah wafat, sosok Cak Nur tetap kontroversial. Sejumlah buletin yang beredar tiap pekan di masjid-masjid dan materi khotbah Jumat seperti tak habis-habisnya mengkritik Cak Nur.

Salah satu sorotan paling mutakhir adalah anggapan bahwa pikiran Cak Nur terwariskan ke Jaringan Islam Liberal (JIL). Cak Nur dan JIL sering dianggap identik. Asumsi ini cukup beralasan karena Cak Nur pada 1970-an pernah mengusung gagasan sekularisasi dan liberalisasi. Antara Cak Nur dan JIL seolah terjadi titik temu intelektual. Apalagi JIL mengakui bahwa gagasannya terinspirasi oleh Cak Nur. Maka, pencitraan Cak Nur sebagai JIL pun tak terhindarkan.

Padahal, liberalisasi Cak Nur lebih bersifat sosiologis. Ia berusaha membebaskan umat dari belenggu kultural dan tradisi yang pada waktu itu bisa dianggap menghambat berpikir rasional. Bukan liberalisasi dalam pikiran teologis, seperti mempertanyakan keotentikan Al-Quran, sebagaimana dikampanyekan JIL.

Gagasan Cak Nur dan JIL berbeda secara ide. Pada Cak Nur, gagasan pembaruan Islam lebih ditulis dan diartikulasikan secara akademis. Buku Islam, Doktrin dan Peradaban menjadi bukti. Secara paradigmatik, gagasan Cak Nur lebih sistematis. Dibandingkan dengan JIL, metode yang Cak Nur tawarkan lebih jelas.

Sebaliknya, sistematisasi ide tidak tampak pada JIL. Gagasan JIL baru sebatas percikan ide spontan yang tercecer di surat kabar dan milis. Artikulasi pemikirannya belum terstruktur secara konseptual dan akademis. Karena itu, gagasan JIL secara epistemologis masih rapuh. JIL sampai saat ini belum punya metodologi yang jelas dalam menafsirkan Islam. Kritik pedas seperti itu pernah dilontarkan oleh Dr. Haidar Bagir.

Tema pembaruan keduanya juga bisa dikontraskan. Cak Nur sangat kuat dalam penjelajahan intelektual pada tradisi Islam klasik untuk merespons tantangan modernitas. Ia fasih berbicara pemikiran Islam klasik dan abad modern. Buku Khazanah Intelektual Islam yang ia sunting dan terjemahkan adalah bukti. Ia ingin menjadi sosok pious thinker---pemikir yang saleh. Dan rupanya, kesalehan tersebut menjadi semacam ikon Cak Nur, baik dalam kehidupan intelektual, spiritual, maupun ritual sehari-hari.

Sementara itu, ditubuh JIL, kesalehan tersebut tidak menjadi kebanggaan ketika mengumandangkan gagasan pembaruan. JIL benar-benar ingin sekuler. Kelihatannya, mereka begitu bangga kalau tercerabut dari piety atau tradisi. Mereka tidak begitu apresiatif terhadap tradisi Islam klasik. JIL benar-benar menjadi sekuler secara sempurna. Mereka ingin membangun formasi sosial kultural baru yang sungguh "anti agama", jauh dari nilai spiritual. Maka, bisa dipahami bila JIL cenderung "anti masjid" dan sinis melihat aktivitas ritual ibadah praktis.

Tradisi pembaruan Cak Nur berangkat dari spirit pencerahan Amerika. Dalam spirit pencerahan Amerika, apresiasi agama sangat tinggi untuk sekularisasi. Agama tidak pernah dipandang sebagai musuh pencerahan dan sekularisme. Sebaliknya, di JIL, agama---khususnya Islam---selalu dimusuhi dan dikritik diluar dosis. Di JIL, semangat pencerahan tampaknya lebih datang dari Eropa yang memang sangat hostile terhadap agama. Meminjam istilah Alfred Stepan, spirit di Eropa ingin freedom of state from religión, sedangkan spirit Amerika ingin freedom of religión from state.

Dalam debat mutakhir, Cak Nur menjadi pemikir yang sadar menjadi scripture Islam dan tradisi sebagai bagian dari public reasoning. Dan JIL, tampaknya tidak demikian. Pada Cak Nur penalaran publik itu murni dimotivasi oleh spirit agama. Warisan pemikiran Tocqueville dan Robert N. Bellah sangat kuat pada pembentukan mind set dan paradigma Cak Nur. Jadi, kuat sekali bahwa toleransi dan pluralisme Cak Nur selalu berangkat dari sandaran agama.

Secara teknis, Cak Nur sangat santun dalam artikulasi pemikiran dan tulisan. Ia berhasil menarik simpati orang yang sebelumnya memusuhi. JIL justru sebaliknya. Orang yang semula simpatik malah berubah menjadi antipati. Cak Nur memiliki---memakai istilah Tocqueville---habit of the mind and habit of the heart; pikiran dan hatinya sangat santun. Karena itu, bisa dipahami jika Cak Nur sensitif terhadap perasaan umat; sikap yang sama sekali tidak muncul dari tubuh JIL.

Dengan demikian, gagasan Cak Nur lebih relevan dan punya masa depan. Sebaliknya, JIL selama berwajah rigid, kaku, egois, dan terperangkap ke dalam "fundamentalisme liberal", akan sulit hidup. []

(M. Deden Ridwan adalah penulis buku Gagasan Cak Nur dan Media (2002), dan saat ini sedang menulis buku Cak Nur Bukan JIL)

PEMBINAAN MENTAL KEROHANIAN & KEPRIBADIAN


Kemiskinan akibat pengangguran masih menjadi persoalan utama dihadapi bangsa Indonesia. Menurut catatan Bappenas: angka penganggur, calon penganggur, penganggur tidak kentara dan pencari kerja di Indonesia setiap tahun terus membengkak, pada tahun 2005 mencapai jumlah 43,5 juta orang apalagi ditambah setiap tahun sekitar 0,5 juta orang lulus dari Perguruan Tinggi seluruh Indonesia yang butuh lapangan kerja. Sementara lapangan kerja baru yang tersedia setiap tahun hanya 1,1 sampai 1,75 juta.

Angka-angka di atas menunjukkan kondisi yang sangat memprihatinkan dan dapat menimbulkan masalah serius. Jika tidak ditangani secara serius bisa menjadi ledakan sosial dengan segala akibatnya. Pengiriman TKI ke luar negeri oleh pemerintah untuk mengurangi dampak kemiskinan dan pengangguran tersebut. Namun, keberadaan TKI di luar negeri menimbulkan berbagai permasalahan baru baik bersifat administratif maupun kriminal yang menyentuh rasa kemanusiaan dan harga diri kita sebagai bangsa Indonesia.

Pengertian:

Pembinaan berasal dari kata “bina” yang mendapat awalan ke- dan akhiran -an, yang berarti bangun/bangunan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pembinaan berarti membina, memperbaharui, atau proses, perbuatan, cara membina, usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik.

Mental diartikan sebagai kepribadian yang merupakan kebulatan yang dinamik yang dimiliki seseorang yang tercermin dalam sikap dan perbuatan atau terlihat dari psikomotornya. Dalam ilmu psikiatri dan psikoterapi, kata mental sering digunakan sebagai ganti dari kata personality (kepribadian) yang berarti bahwa mental adalah semua unsur-unsur jiwa termasuk pikiran, emosi, sikap (attitude) dan perasaan yang dalam keseluruhan dan kebulatannya akan menentukan corak laku, cara menghadapi suatu hal yang menekan perasaan, mengecewakan atau menggembirakan, menyenangkan dan sebagainya.

Para ahli dalam bidang perawatan jiwa, dalam masalah mental telah membagi manusia kepada 2 (dua) golongan besar, yaitu (1) golongan yang sehat mentalnya dan (2) golongan yang tidak sehat mentalnya.
1.Golongan yang sehat mentalnya:
2.
Menurut Kartini Kartono: orang yang sehat mentalnya adalah yang memiliki sifat-sifat yang khas, antara lain: mempunyai kemampuan untuk bertindak secara efesien, memiliki tujuan hidup yang jelas, memiliki konsep diri yang sehat, memiliki koordinasi antara segenap potensi dengan usaha-usahanya, memiliki regulasi diri dan integrasi kepribadian dan memiliki batin yang tenang. Disamping itu, beliau juga mengatakan bahwa kesehatan mental tidak hanya terhindarnya diri dari gangguan batin saja, tetapi juga posisi pribadinya seimbang dan baik, selaras dengan dunia luar, dengan dirinya sendiri dan dengan lingkungannya. 

Menurut Dr. Jalaluddin : Kesehatan mental merupakan suatu kondisi batin yang senantiasa berada dalam keadaan tenang, aman dan tentram, dan upaya untuk menemukan ketenangan batin dapat dilakukan antara lain melalui penyesuaian diri secara resignasi (penyerahan  diri sepenuhnya kepada Tuhan)”.

Menurut Zakiah Daradjat mendefenisikan bahwa mental yang sehat adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara individu dengan dirinya sendiri dan lingkungannya berdasarkan keimanan dan ketakwaan serta bertujuan untuk mencapai hidup bermakna dan bahagia di dunia dan akhirat.

Dalam Ilmu kedokteran kesehatan mental merupakan suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan  selaras dengan keadaan orang lain.

Dari beberapa defenisi di atas, dapat dipahami bahwa orang yang sehat mentalnya adalah:  Terwujudnya keharmonisan dalam fungsi jiwa serta tercapainya kemampuan untuk menghadapi permasalahan sehari-hari, sehingga merasakan kebahagiaan dan kepuasan dalam dirinya. Seseorang dikatakan memiliki mental yang sehat, bila ia terhindar dari gejala penyakit jiwa dan memanfatkan potensi yang dimilikinya untuk menyelaraskan fungsi jiwa dalam dirinya. 

Terciptanya kedekatan/ketakwaan kepada Allah SWT yang bertujuan mencapai hidup bermakna dan bahagia di dunia dan akhirat. Jika mental sehat dicapai, maka individu memiliki integrasi, penyesuaian dan identifikasi positif terhadap orang lain. Dalam hal ini, individu belajar menerima tanggung jawab, menjadi mandiri dan mencapai integrasi tingkah laku. 

Golongan yang tidak sehat mental:
Sebaliknya yang kurang sehat mentalnya adalah orang yang merasa terganggu ketentraman hatinya. Adanya abnormalitas mental ini biasanya disebabkan karena ketidakmampuan individu dalam menghadapi kenyataan hidup, sehingga muncul konflik mental pada dirinya. Gejala-gejala umum yang kurang sehat mentalnya, yakni dapat dilihat dalam beberapa segi, antara lain:

Perasaan
: Orang yang kurang sehat mentalnya akan selalu merasa gelisah karena kurang mampu menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya.

Pikiran
: Orang yang kurang sehat mentalnya akan mempengaruhi pikirannya, sehingga ia merasa kurang mampu melanjutkan sesuatu yang telah direncanakan  sebelumnya, seperti tidak dapat berkonsentrasi dalam melakukan sesuatu pekerjan, pemalas, pelupa, apatis dan sebgainya.

Kelakuan
: Pada umumnya orang yang kurang sehat mentalnya akan tampak pada kelakuan-kelakuannya yang tidak baik, seperti keras kepala, suka berdusta, mencuri, menyeleweng, menyiksa orang lain, dan segala yang bersifat negatif.

Pembinaan Mental Kerohanian & Kepribadian

Pembinaan yang dimaksud adalah pembinaan kepribadian secara keseluruhan. Pembinaan mental secara efektif dilakukan dengan memperhatikan faktor kejiwaan sasaran yang akan dibina. Pembinaan yang dilakukan meliputi pembinaan dan pembentukan moral/ etika/ akhlak yang baik.

Pembinaan mental merupakan salah satu cara untuk membentuk akhlak manusia agar memiliki pribadi yang bermoral, berbudi pekerti yang luhur dan bersusila, sehingga seseorang dapat terhindar dari sifat tercela. Pembinaan juga bertujuan agar seseorang mempunyai kepribadian yang kuat dan sikap mental yang sehat serta akhlak yang terpuji.

Pembinaan mental kerohanian merupakan pendekatan yang berdasar ajaran agama. Pembinaan mental kerohanian/jiwa merupakan tumpuan perhatian pertama dalam misi Islam. Untuk menciptakan manusia yang berakhlak mulia, Islam telah mengajarkan bahwa pembinaan jiwa harus lebih diutamakan daripada pembinaan fisik atau pembinaan pada aspek-aspek lain, karena dari jiwa yang baik inilah akan lahir perbuatan-perbuatan yang baik yang pada gilirannya akan menghasilkan kebaikan dan kebahagiaan pada seluruh kehidupan manusia lahir dan batin.

Menurut Quraisy Shihab dalam bukunya “Membumikan Al-Qur’an” bahwa:
“ Manusia yang dibina adalah makhluk yang mempunyai unsur-unsur jasmani (material) dan akal dan jiwa (immaterial). Pembinaan akalnya menghasilkan keterampilan dan yang paling penting adalah pembinaan jiwanya yang menghasilkan kesucian dan akhlak. Dengan demikian, terciptalah manusia dwidimensi dalam suatu keseimbangan”.

Dengan demikian, pembinaan mental kerohanian adalah usaha untuk memperbaiki dan memperbaharui suatu tindakan atau tingkah laku seseorang melalui bimbingan ajaran agama sehingga memiliki kepribadian yang sehat, akhlak yang terpuji dan bertanggung jawab dalam menjalani kehidupannya.

Beberapa penyakit rohani menurut ajaran Islam:
  1. Riya 
  2. Marah tidak terkendali 
  3. Lupa dan Lalai 
  4. Was-was 
  5. Pesimis dan Apatis 
  6. Tamak 
  7. Terperdaya 
  8. Ujub (memuji diri) 
  9. Dendam dan Dengki 
Riya:
Penyakit riya dijelaskan dalam Al-Qur’an, surat An-Nisaa’ (4): 142-143. Artinya:  “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali”. 

“Mereka dalam Keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir): tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir), Maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya”.

Marah yang tidak Terkendali:
Marah tidak terkendali dijelaskan sabda Nabi saw. diriwayatkan Al-Turmuzi berikut:  Artinya : “Ketahuilah bahwa marah itu adalah batu yang dinyalakan dalam diri bani Adam, apakah kalian tidak melihat betapa merah kedua matanya dan bengkak lehernya. Apabila salah seorang kamu menemukan sesuatu seperti itu, maka bumi tetap bumi, ketahuilah bahwa sebaik-baiknya orang adalah yang lambat marah dan cepat rida dan seburuk-buruknya orang yang cepat marah dan lambat tenangnya”. 

Lupa dan Lalai:
Al-Quran menjelaskan bahwa lupa dan lalai termasuk penyakit yang menyebabkan pelakunya khianat dan tunduk pada hawa nafsu. Sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Mujaadillah (58): 19. Artinya : “syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka Itulah golongan syaitan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan syaitan Itulah golongan yang merugi “ 

Was-was:
Was-was atau obsesi mengganggu perasaan dan pikiran. Orang yang mengalami gangguan ini dikuasai perasaan atau pikiran tertentu dan tidak dapat melepaskan diri dari pikiran atau perasaan itu, malahan makin lama semakin meningkat sehingga memaksanya melakukan atau memikirkan sesuatu dan tidak dapat memahaminya.
Al-Qur’an menjelaskan penyakit ini bermula dari lupa akan kebenaran, kemudian dirayu-rayu setan sehingga orang tersebut tersesat dan melakukan perbuatan salah. Dalam surat Faathir (35): 6 dijelaskan. Artinya, “Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh (mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala”.

Pesimis dan Apatis:
Dalam Al-Qur’an “pesimis dan apatis” terdapat dalam kata “ya’s dan qanut”.
Dalam surat Az-Zumar (39): 53, kata “al-qanut” diartikan dengan “putus asa”. Menurut Zakiah Daradjat, kata “al-qanut” dalam ayat ini dapat diartikan dengan “pesimis”, karena masih ada harapan Allah memberikan ampunan atas dosa-dosa yang telah dilakukan.
Sementara apatis (al-ya’s) adalah penyakit hati yang terdapat pada orang kafir dan musyrik, ketika ditimpa musibah sebagai ujian dari Allah. Firman Allah dalam surat Hud (11): 9. Artinya. “dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih”.

Tamak:
Orang tamak (loba atau rakus) dicela Allah karena hatinya jauh dari Allah dan cenderung mengikuti hawa nafsunya yang tidak pernah puas. Dia selalu mengejar harta kekayaan dan kesenangan yang bersifat materi. Penyakit ini dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Najm (53):23. Artinya. “…mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka”.

Terperdaya:
Penyakit terperdaya (gurur) menyerang disebabkan oleh persangkaan bahwa Allah Maha Penyanyang dan Maha Pengampun, tentu Allah akan selalu mengampuninya. Maka terabaikanlah olehnya amal perbuatan yang baik, karena selalu mengandalkan rahmat dan ampunan Allah. Sementara itu setan menggodanya, supaya ia memandang baik perbuatan keji dan pekerjaan batil, sehingga ia nantinya terlempar kedalam kesesatan dan neraka. Dalam surat An-Nisaa (4): 120 dijelaskan, artinya. “syaitan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal syaitan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka”.

Ujub:
Seseorang dapat dikatakan “ujub” bila ia sangat bangga terhadap dirinya dan terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan dirinya, sehingga hidupnya disibukkan dalam mencari perhatian orang, lupa bersyukur dan menyangka dirinya selalu benar.
Allah tidak menyukai orang ujub ini, sebagaimana dalam surat Luqman (31): 18. artinya. “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”.

Dendam dan Dengki:
Dendam adalah marah, kecewa, atau sakit hati yang disimpan lama terhadap orang lain. Ia adalah korban dari orang yang menyakitinya, menipu dan sebagainya. Perasaan sebagai korban itu ia tekan atau ia pendam sehingga bertumpuk-tumpuk hingga akhirnya sulit mengungkapnya ke luar secara terbuka. Jadi salah satu ciri pendendam adalah penutup diri.
Dengki adalah bentuk sikap tidak senang atas keberhasilan atau kebahagiaan orang lain. Ia lalu berharap dan berbuat untuk merusak orang tersebut.

Beberapa Pendekatan Agama dalam Pembinaan Mental Kerohanian dan Kepribadian atas penyakit-penyakit di atas:

Pendekatan agama bertujuan membantu agar manusia sehat jasmani, rohani dan berakhlak mulia serta menikmati kebahagiaan hidup di dunia dan kebahagiaan di akhirat yang diridhai Allah swt.  Pembinaan mental berdasarkan ajaran agama Islam agar berhasil guna dan berdaya guna haruslah berasaskan pada beberapa patokan dasar berikut ini. 

Ajaran Dasar Pembinaan Mental Kerohanian dan Kepribadian menurut ajaran Islam adalah ; iman, takwa dan Tawakkal, Sabar dan Syukur, Taubat nasuha, Ibadah kepada Allah dengan iklas, Zikir Kepada Allah dan Menanamkan sifat jujur.

Iman dan takwa menanamkan keyakinan dalam diri manusia bahwa Allah sangat dekat. Perasaan dekat ini membantu manusia senantiasa berada dalam jalan Allah yang lurus. Perasaan ini menghindarkan manusia dari berputus asa dari rahmat Allah. Sehingga kapan dan dimana pun seseorang minta pertolongan, Allah akan selalu “mendengarkannya”.




Tawakkal mengajarkan agar setiap orang mau dan mampu menerima dirinya sebagaimana adanya, sehingga hidupnya tidak stres, gelisah, cemas dan kemungkinan terserang gangguan kejiwaan lebih rendah.

Syukur merupakan bukti kesehatan mental seseorang. Allah berjanji memberikan banyak kemudahan/ kesehatan bagi orang – orang bersyukur. Firman Allah dalam surat Ibrahim (14):7. Artinya, “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".
Sabar dapat menjauhkan perasaan cemas, gelisah dan frustasi. Sebaliknya, akan membawa kepada ketenteraman jiwa. Allah berfirman. Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”.

Merasa diri bersalah merupakan salah satu penyebab penyakit. Untuk mengobatinya, seseorang harus merasa bahwa kesalahannya itu telah dimaafkan. Al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah Maha Pengampun dan Maha Penerima Tobat. Orang yang bersalah dianjurkan agar bertobat, bahkan setiap orang beriman disarankan supaya membiasakan diri untuk mohon ampun kepada Allah, baik ketika merasa bersalah maupun tidak karena orang tidak selamanya sadar akan perbuatannya. Allah berfirman, Ali Imran (3): 133-136, artinya:

 “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,  (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. 

“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau Menganiaya diri sendiri[229], mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui”.

“Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah Sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal”.

Ibadah, terutama salat lima waktu wajib dilakukan pada waktunya, dalam keadaan bagaimanapun tidak boleh ditinggalkan. Ibadah dalam Islam mempunyai banyak dimensi dan manfaat, baik untuk pemenuhan kebutuhan pribadi maupun kemaslahatan bersama.

Dalam surat An-Nisaa’ (4):36. Allah berfirman, artinya.
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib- kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”.

Sebagai bagian ibadah zikir yang diamalkan oleh seorang muslim dalam membangun fisikal dan psikologikal, dapat dijadikan pembinaan bagi keguncangan jiwa, kecemasan dan gangguan mental. Zikir adalah metode kesehatan mental yang tidak memerlukan waktu yang terjadwal. Malahan ibadah ini boleh diamalkan kapan saja dan di mana saja, selama kesucian badan dari najis dan hadas tetap terjaga. Ibadah zikir adalah upaya mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Seorang individu dalam masa pengobatan dan pemulihan diharuskan berzikir, berdoa, dan bertilawah Alquran secara kontinyu dan tidak boleh terputus, sehingga diyakini bahwa pasien sudah benar-benar sembuh dari penyakit mental yang dihadapinya.

Dengan berzikir seorang muslim menjadi tenang dan tenteram. Allah berfirman:
‘’Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tenteram.’’ (QS. Al-Ra’d: 28)
Kebiasaan seorang muslim dalam mengingat Allah seperti membaca takbir, tahmid, tasbih, tahlil, dan istighfar dapat menjadi obat penawar bagi segala jenis penyakit mental, menenangkan dan menenteramkan pikiran yang kacau, sehingga menjadi sehat dan selaras antara diri dengan alam sekitarnya. Apabila seorang muslim membiasakan diri mengingat Allah, maka individu itu merasakan bahwa ia dekat dengan Allah dan berada dalam perlindungan dan penjagaan-Nya. Dengan demikian, akan timbul dalam dirinya perasaan percaya pada diri sendiri, teguh, tenang, tenteram dan bahagia.

Zikir kepada Allah bisa menjadi energi hati, motivasi hati, dan boleh juga menjadi sebuah metode dalam mewujudkan kesehatan mental. Merasa dekat dengan Allah, seyogyanya menjadikan diri terawasi dan terjaga untuk tidak tergelincir dan terjerumus ke dalam perkara-perkara yang mendatangkan dosa dan maksiat.

Sesungguhnya kejujuran mengantarkan kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan kepada surga. Sesungguhnya seseorang biasa berlaku jujur hingga ia disebut shiddiq (orang yang senantiasa jujur). Sedang dusta mengantarkan kepada perilaku menyimpang (dzalim) darn perilaku menyimpang mengantarkan kepada neraka. Sesungguhnya seseorang biasa berlaku dusta hingga ia disebut pendusta besar.

Salah satu dari sekian sifat dan moral utama seorang manusia adalah kejujuran. Karena kejujuran merupakan dasar fundamental dalam pembinaan umat dan kebahagiaan masyarakat. Karena kejujuran menyangkut segala urusan kehidupan dan kepentingan orang banyak. Kepada manusia Allah SWT memerintahkan agar mempunyai perilaku dan sifat ini. Rasulullah SAW adalah merupakan contoh terbaik dan seorang yang memiliki pribadi utama dalam hal kejujuran.

Kejujuran memang akhlak utama para nabi dan rasul. Dan demikian pula akhlak para generasi pertama dan utama umat ini, mereka senantiasa berpegang teguh kepada kebenaran dan kejujuran dalam segala aspek kehidupan. Bukan saja dalam urusan kemasyarakatan, namun juga dalam kehidupan keluarga dan rumah tangga termasuk pergaulan dengan anak-anak mereka. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis, berikut.

“ Hendaklah kamu semua bersikap jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa ke sorga. Seorang yang selalu jujur dan mencari kejujuran akan ditulis oleh Allah sebagai orang yang jujur (shidiq). Dan jauhilah sifat bohong, karena kebohongan membawa kepada kejahatan, dan kejahan membawa ke neraka. Orang yang selalu berbohong dan mencari-cari kebohongan, akan ditulis oleh Allah sebagai pembohong (kadzdzab). (H.R. Bukhari).

Demikianlah, Allahu 'alam bishawab...