Kamis, 24 Februari 2011

ISLAM PASCAKOLONIAL


ISLAM PASCAKOLONIAL;
PERSELINGKUHAN AGAMA, KOLONIALISME DAN LIBERALISME
Oleh: Welhendri

Penulis : Ahmad Baso
Pengantar         : Azyumardi Azra
Halaman           : 419 halaman
Penerbit            : Mizan, Bandung
Cetakan           : I/ Mei 2005
Membaca Islam Indonesia tak bisa lepas dari bicara tentang sejarah Indonesia yang pernah dijajah oleh Belanda. Mengacu pada kenyataan bahwa sejarah umat Islam Indonesia pernah menghadapi masa kelam sejak zaman penjajahan, Ahmad Baso membahas perjumpaan umat Islam dengan tradisi pencerahan dan kemodernan Eropa yang dibawa oleh penjajah. Dimulai sejak zaman renaissance, negara-negara Eropa mulai melakukan kolonialisasi dan invasi ke negara-negar di luar Eropa termasuk Indonesia. Negara-negara Eropa tidak hanya berkepentingan dengan sumber daya alam, penaklukan tanah dan teritori di daerah jajahannya, namun juga menyebarkan dan melakukan penaklukan pikiran dan budaya. Dalam proses inilah mereka menyebarkan faham rasional, modern dan liberal.
Negara-negara Barat, termasuk Belanda, yang menganut ajaran liberal, dalam aktivitasnya berupaya untuk meliberalkan berbagai lini kehidupan termasuk dalam hal beragama. Agama yang dibawa dan diperkenalkan oleh kolonialisme adalah agama yang tunduk pada kekuasaan dan menjadi kepanjangan tangan penguasa serta bisa menjaga kondusifitas pemerintah kolonial.
Dalam sejarah Islam Indonesia kita mengenal tokoh C. Snouck Hurgronje. Dia adalah seorang sarjana Belanda yang penuh kontroversial. Satu sisi Snouck adalah tokoh yang mewakili tradisi pencerahan Eropa, namun di sisi lain, sebagai seorang warga Belanda. Pada zamannya ia merepresentasikan kuasa kolonial yang eksploitatif dan bertangan besi terhadap rakyat Indonesia. Ia banyak berperan dalam grand design kolonialisasi Barat di Indonesia dengan menyebarkan ajaran yang berupaya untuk menyiasati agama agar mudah diatur administrasi serta mudah dikontrol sehingga tidak berkembang pada fanatisme. Dengan upayanya ini dia berhasil mengembangkan Islam sebagai agama yang moderat (liberal), dengan banyak menutup gerakan Islam yang mewakili kaum tradisional melalui kelompok-kelompok tarekat. Tarekat dibuat menakutkan dengan dianggap mistik, takhayul dan bid’ah.
Wacana yang dikembangkan oleh Snouck adalah dengan menghindarkan pemahaman agama sebagai kritik sosial, etika yang dengan cara tersebut membuat umat Islam Indonesia tidak mampu memerankan ajaran Islam secara relevan dengan situasi masyarakat pada saat itu yang sedang di jajah. Snouck juga menghindarkan dari pemahaman Islam yang merespon tentang ketimpangan relasi antara penjajah dan yang di jajah. Maka lahirlah Islam pada zaman kolonial Belanda yaitu Islam sebagai agama kerukunan yang akomodatif dan loyal terhadap penguasa dan birokrasi yang cocok untuk kepentingan penguasa dalam mempertahankan tanah kekuasaan.
Dengan menggunakan studi dan teori-teori poskolonial (postcolonial studies), Ahmad Baso mengeksplorasi lebih jauh bagaimana Islam berkembang dalam pergumulan dengan kolonialisme Belanda di Indonesia. Studi poskolonialisme tidaklah mempersoalkan “apa yang terjadi dalam sejarah kolonialisme”. Yang dikaji adalah “apa yang terjadi sesudah kekuasaan kolonialisme hengkang dari daerah jajahannya, dan apa pula yang terjadi kemudian dalam era prakolonialisme”. Menarik masa lalu bukan demi masa lalu, tapi demi memperjelas pada khalayak apa yang terjadi era sekarang, yaitu pada kepentingannya membongkar kekuatan di balik stigma fanatik (terorisme) dan kepentingan di balik moderatisasi (liberalisasi) agama (Islam ). Melalui teori poskolonial, Baso menemukan bahwa pemahaman keberagamaan umat Islam Indonesia dipengaruhi oleh segenap konstruk dan racikan budaya kebudayaan Barat yang superior. Di balik kedigdayaan ilmu pengetahuan dan supremasi peradaban yang mereka miliki, Barat mempengaruhi pola pikir dan psikologis umat Islam Indonesia dengan berbagai kepentingannya.
Upaya ini penting dilakukan untuk membaca bahwa sejarah Islam Indonesia tak lepas dari bayang-bayang kepentingan negara-negara Barat. Hingga sekarang, hal ini masih membekas bahkan bisa ditemukan dalam berbagai produk hukum yang dihasilkan dengan mengatasnamakan agama. Padahal produk hukum tersebut sarat dengan muatan kepentingan di tengah maraknya liberalisasi agama seperti lahirnya Islam liberal yang merupakan ciri utama bangsa Barat.
Buku ini, menurut Ahmad Baso, adalah rintisan awal menulis (ulang) sejarah masa kini, sejarah yang terbentuk bukan karena konfigurasi kekuatan-kekuatan masa kini, melainkan juga oleh konfigurasi kekuatan-kekuatan yang ada pada masa lalu. Pada bagian awal buku ini Ahmad Baso mengeksplorasi dengan menawan dan tajam genealogi studi dan teori-teori poskolonial (postcolonial studies). Mulai dari rujukan studi poskolonial ke Michael Foucault sampai dengan tradisi Marxian. Tidak lupa pula ia menyertakan pembahasan tokoh-tokoh studi poskolonial seperti Lacan, Fanon, dan Edward W. Said.
Pada bagian ini, Ahmad Baso menyertakan perkenalan terhadap studi-studi kontemporer seperti makna studi sejarah, pengertian kebudayaan dan agama sebagai bagian dari objek kajian studi poskolonial. Begitu juga soal relasi apa yang muncul ketika kolonialisme berakhir dan ditandai dengan era baru, era kemerdekaan, era nation state. Disini ditegaskan bagaimana studi poskolonial membangun dirinya sekaligus menyatakan oposisi terhadap kolonialisme. (hlm. 46-73).
Pada tiga bab selanjutnya, Ahmad Baso lebih jauh mengeksplorasi sejarah perkenalan dan pergumulan Islam dengan kolonialisme. Disini Islam yang dianalisis terfokus pada pengalaman Islam yang di imajinasikan di dunia Arab, sebab disinilah dimulainya perkenalan antara Islam dan modernitas barat. Pembahasan tentang hal ini dikaitkan dengan etnologi, yaitu studi tentang bangsa-bangsa lain, terutama dunia timur dan teknik dan data-data penulisan kebudayaan bangsa lain yang disebut etnografi. Melalui etnologi dan etnografi inilah bangsa Barat meracik kebudayaan sehingga tampil sebagai kontrol dan pengawasan. Dari sinilah gagasan-gagasan liberal lahir dan berkembang dalam dunia Islam terutama di dunia Timur.
Agama kolonial adalah adalah agama yang ditafsirkan oleh kaum intelektual dengan semangat non agama tetapi semangat sebagai agen, khususnya dalam cara berpikir. Semangat agen inilah yang dianalisis oleh Ahmad Baso, sebab dalam perkembangan selanjutnya agama kolonial melahirkan kebijakan yang tidak memihak pada rakyat namun justru menjadi kepanjangan tangan penguasa. Lahirnya berbagai kebijakan dan produk hukum yang mengatasnamakan agama dalam kehidupan bermasyarakat era pascakolonial merupakan hasil nyata dari upaya liberalisasi yang dilakukan kolonial. Seperti lahirnya UU perkawinan 1974 yang awalnya muncul dari rancangan yang dianggap sekuler tetapi kemudian berkembang menjadi sebuah mistifikasi atau sakralisasi sebagai UU yang islami dan menjadi “hukumTuhan”.
Dengan teori poskolonial ini, Timur yang dulu diperlakukan sebagai objek (maf’ul), kini berbalik memperlakukan Barat sebagai objek (maf’ul). Timur menjadi subjek (fa’il) dan Barat menjadi objek. Dalam wacana kolonial, yang menjadi objek adalah penduduk terjajah atau pribumi. Sedangkan dalam wacana poskolonial atau dekolonisasi ini, yang menjadi objek justru Barat atau penjajah itu sendiri. Ini mengukuhkan, bahwa Baso adalah sosok penerus Edward W. Said yang dengan lantang mengkritisi Barat yang selama ini memperlakukan Timur sebagai objek.
Topik lain yang dibahas dalam buku ini diurai dalam bagian akhir yang membahas permasalahan suara-suara kaum pinggiran (subaltern) dan yang dipinggirkan dalam kolonialisme dan pascakolonialisme. Dalam konteks lebih mikro kaum subaltern tersebut diwakili oleh NU. Disini Ahmad Baso mempertegas posisi NU yang kokoh menolak liberalisasi agama. Dengan melihat apa yang terjadi dalam muktamar NU ke-31 di Solo pada 28 Nopember hingga 2 Desember 2004 lalu yang menolak pendekatan hermeneutika dalam sidang komisi pembahasan masalah-masalah keagamaan tematik (masa’il diniyyah maudhu’iyyah).
Di arena muktamar NU itu, hermeneutika dianggap sebagai sesuatu yang muncul tidak netral: ia hadir dalam konteks kecurigaan pada kelompok “Islam Liberal”. NU menolak tradisi ditempatkan sebagai objek (yang dibedah) sementara hermeneutika dijadikan sebagai subjek (yang membedah). Artinya, NU kini berbalik memandang memposisikan hermeneutika sebagai objek. Dengan ditolaknya hermeneutika, dan juga Islam Liberal yang menyertainya, maka segenap pendekatan luar dengan sendirinya kandas, tidak berkutik dan gagal. NU memiliki logika sendiri untuk memandang diri dan tradisinya dan mempunyai kekuatan untuk memandang di luar dirinya: Orang-orang NU bukanlah objek, tapi subjek!
*****
Apa yang dilakukan oleh Ahmad Baso dengan karyanya ini merupakan kontribusi nyata dalam membaca Islam pascakolonial dalam kaca mata sejarah sosial. Sebagai sebuah cara pandang baru dalam memandang sejarah, sejarah sosial lebih menekankan pada kajian atau analisis terhadap faktor-faktor, bahkan ranah-ranah sosial yang mempengaruhi terjadinya peristiwa-peristiwa sejarah itu sendiri.
Walau susah dicerna karena muatannya yang kompleks, tetapi buku ini perlu dibaca. Saat menelusurinya pun kita harus membaca secara komprehensif dan holistik agar pemahaman terhadap apa yang diungkapkan oleh Ahmad Baso bisa dipahami dengan benar. Buku ini masih merupakan grand teori tentang sejarah sosial umat Islam Indonesia. Dengan alasan inilah kita masih perlu penjelasan lebih lanjut tentang apa yang dikemukakan oleh Ahmad Baso .
Bagi kalangan yang mendalami perkembangan wacana keislaman, buku ini hanyalah pengantar untuk memahami lebih lanjut teori-teori sejarah sosial dalam membaca sejarah Islam Indonesia. Selesai membaca buku ini, kita akan dihadapkan berbagai pertanyaan yang belum terjawab oleh Ahmad Baso.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar